Jokowi dan Prabowo saat debat tanggal 15 Juni 2014 |
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito menilai, debat calon presiden Prabowo Subianto vs Joko Widodo (Jokowi) yang berlangsung Minggu (15/6/2014) malam, tak tajam membahas substansi persoalan. Arie mengatakan, waktu lebih banyak dihabiskan Prabowo untuk menjual jargon politiknya dan Jokowi menjual pengalamannya.
"Enggak cukup cuma jargon dan pengalaman, tapi bagaimana merangkai dan menjalankan semua itu," kata Arie, saat dihubungi Minggu malam.
Arie menjelaskan, salah satu jargon politik yang disampaikan Prabowo adalah mengenai program Rp 1 miliar untuk satu desa. Program tersebut dianggap menjadi jargon Prabowo karena sering disampaikan ke publik dalam kampanye atau melalui media.
Sementara Jokowi, kata Arie, lebih banyak menyampaikan pengalamannya saat menjadi kepala daerah. Jokowi juga berulang kali "jualan" Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat yang diklaimnya sebagai bukti kesuksesan di DKI Jakarta.
Menurut Arie, kedua capres tak memanfaatkan terbatasnya waktu untuk menjawab tuntas semua pertanyaan. Selain itu, keduanya juga dianggapnya tak terlalu menguasai isu ekonomi sesuai dengan topik debat "Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial".
"Keduanya enggak punya pengalaman soal teknokrasi ekonomi. Jokowi hanya menyajikan data, dan Prabowo mengeksplorasi jargon-jargon itu," kata Arie.
Setelah debat kedua ini, masih tersisa tiga debat, yang akan kembali mempertemukan Jokowi dan Prabowo, Jusuf Kalla dan Hatta Rajasa, serta debat terakhir antarpasangan. Debat ketiga akan digelar pada 22 Juni 2014 dengan topik "Politik Internal dan Ketahanan Nasional". Berikutnya, debat cawapres pada 29 Juni 2014 dengan tema "Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Iptek"; dan debat terakhir antarpasangan pada 5 Juli 2014 dengan topik "Pangan, Energi, dan Lingkungan". (kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar