Bandar Lampung, (Analisa). Debat calon presiden-wakil presiden yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum menjelang pelaksanaan Pemilihan Presiden 9 Juli 2014, dinilai pengamat politik FISIP Universitas Lampung, Dr Syarief Makhya MP sangat positif untuk pembelajaran masyarakat.
"Dari sisi peningkatan kualitas membangun demokrasi, debat capres sangat positif untuk pembelajaran pada masyarakat untuk berbeda pilihan dan berbeda berpendapat, terutama untuk pemilih yang belum punya pilihan," ujar Syarief, di Bandar Lampung, Minggu.
Debat itu telah diawali satu kali debat dari rencana lima kali debat. Berbagai tanggapan dan komentar berkaitan pelaksanaan debat tahap awal itu bermunculan dan sempat menjadi trending topic di media sosial.
Menurut dosen FISIP Unila itu, dari debat capres, rakyat diajak untuk memahami visi dan misi capres, walaupun masih terkecoh pada aspek penampilan dan gaya berkomunikasi, bukan pada subtansi.
Dia menilai, dalam debat capres pertama yang telah berlangsung pekan lalu, secara subtansi kedua capres terlihat adanya komitmen untuk memperbaiki demokrasi, pemerintahan yang bersih dan membangun penegakan hukum.
Namun, menurutnya, komitmen memperbaiki tersebut sifatnya inkremental (tambal sulam) dari kebijakan yang sudah ada, dan tidak sesuai dengan realitas politik atau akan mengalami hambatan struktural.
"Misalnya, ketika ada pertanyaan bagaimana dampak koalisi partai dalam penyusunan kabinet. Jawaban kedua capres cenderung hanya sebatas wacana yang sulit dan tidak mungkin bisa dilaksanakan, seperti pembentukan zaken kabinet, atau koalisi ikhlas," ujarnya lagi.
Begitu pula, untuk kasus upaya menyehatkan demokrasi, menurut Syarief, juga tak ada jawaban yang secara radikal mampu memberikan alternatif yang memungkinkan untuk direalisasikan.
"Kedua capres terkesan ragu dan ada kehawatiran menjadi bumerang," katanya.
Menurutnya, debat capres itu harus bisa dipertanggungjawabkan karena menjadi bagian alat kontrol pada saat terpilih jadi presiden.
"Apa yang disampaikan ke publik bukan alat untuk sekadar memengaruhi pemilih, tetapi harus menjadi kontrak politik dengan rakyat. Implikasinya, rakyat akan menuntut jika komitmen yang disampaikan ke publik tak terpenuhi atau tak terimplementasikan," katanya. (Ant)
x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar